Sudah 23 tahun kami menjalani hidup tanpa seorang bapak. Kala itu, saya masih kelas 1 SD. Saya ingat sekali ketika saya dan kedua orang kakak saya yang juga masih SD dipanggil oleh kepala sekolah. Kami disuruh untuk pulang lebih awal tanpa memberi tahu hal apa yang terjadi. Tentu saja, saya senang waktu itu tanpa tahu apa yang terjadi.
Rumah kami sudah dipenuhi oleh para tetangga yang mulai bersiap-siap melaksanakan prosesi jenazah di dalam islam. Yang saya ingat, waktu itu bapak dishalatkan di sekolah MDA dekat rumah setelah sholat zuhur. Banyak sekali siswa-siswi MTsN yang ikut menyalatkan, karena MDA, MTsN, dan rumah kami cukup dekat. Dua orang kakak laki-laki adalah murid MTsN. Bapak memang sudah agak sakit-sakitan. Beberapa hari sebelum meninggal, bapak memang hanya tiduran di kamar dan batuk batuk terus. Tapi, saya sama sekali tidak menyangkan, bahwa di umurnya yang masih 39 tahun, dia harus menghadap illahi.
Hal yang paling saya sesalkan tentang kepergian bapak adalah sedikitnya kenangan tentang bapak yang tersimpan. Di rumah, hanya ada 1 foto bapak, yaitu foto pernikahannya dengan ibu. Bahkan, saya tidak memiliki satupun foto bersama bapak. Teknologi memang tidak secanggih sekarang, dan bagi kami, memiliki album foto keluarga adalah sesuatu yang mewah. Satu-satunya kenangan saya tentang bapak adalah ketika bulan ramadhan tiba. Kami selalu bermain ular tangga dan ludo menunggu waktu berbuka puasa. Itu menjadi momen yang selalu saya ingat setiap bulan puasa tiba. Sisanya? saya benar-benar tidak mengingat apapun. Itulah kenapa saya sering iri dengan kakak-kakak saya yang memiliki kenangan lebih banyak.
Bapak meninggalkan 6 orang anak, 3 orang masih SD, 2 orang masih SMP, 1 orang masih belum sekolah dan seorang isteri. Sejujurnya, saya salut dengan ibu saya yang masih waras membesarkan ke 6 anaknya seorang diri dengan bekerja serabutan. Untuk meringankan beban Ibu, kami semua harus rajin belajar di sekolah untuk mendapatkan beasiswa (kala itu sekolah masih bayar). Biasanya jika jadi juara kelas, kami pasti akan mendapatkan buku tulis, semakin tinggi peringkat, semakin banyak buku yang didapatkan. Selain itu, jika juara umum, bisa gratis uang sekolah beberapa semester/catur wulan. Saya dari kelas 1 SD sampai sekarang menyelesaikan S2 pun juga bermodalkan beasiswa (penuh hutang budi). Jelas sekali diingatan saya bahwa untuk lanjut sekolah, ibu tidak pernah membatasi mau sekolah dimana, mau jauh sekalipun gapapa, asalkan dengan beasiswa.
Akhirnya setelah 23 tahun berlalu, ibu bisa mengantarkan anak2nya ke jenjang pendidikan yang bagus: 2 orang lulusan S2, 2 orang lulusan S1, 2 orang lulusan SMA. Dua kakak saya paling tua memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah karena ingin membantu ibu. Ah, andai saja, bidik misi dan beasiswa-beasiswa lain nya sudah ada pada jaman itu.
Allaahummaghfir lahu warham hu wa’aafi hii wa’fu anhu