Kemaren hasil ujian period 1 baru saja diumumkan. Tidak seperti yang diduga (biasanya) nilai saya jauh dari harapan dan dari hipotesis pasca ujian. Meski biasanya selalu bilang kalo ujiannya ga bisa, tp untuk ujian kali ini saya tetap yakin nilai skor maksimum saya setidaknya C lah. Meskipun pada akhirnya hipotesis tanpa dasar teori yang kuat inipun terbantahkan kemaren siang.
Yak. saya mendapatkan nilai FX. Sistem grading di KTH yaitu A (5), B (4,5), C(4), D(3,5), E(3), Pass dan Fail. Di KTH juga ada grade FX yang artinya kamu hampir fail. Sebab musabab saya mendapatkan nilai FX untuk ujian pertama kali nya adalah karena ada 1 dari 6 soal essay saya berskor 0. Meskipun sebenarnya jika total skor saya jika dikonversi dan menjadi acuan pemberian nilai akhir, harusnya bisa mendapatkan nilai C, tetapi dikarenakan sistem penilaian di KTH (untuk mata kuliah tertentu) agak rada kejam dengan minimal ada satu saja soal bernilai 0, maka kamu dapat nilai FX. Bersyukurlah saya tidak mendapatkan nilai 0 untuk soal no 1. Jika ini terjadi, artinya saya harus gagal dan harus mengambil ujian ini lagi di masa-masa mendatang yang waktu nya ditentukan.
Jika kamu mendapatkan nilai FX, berapapun total skor akhir kamu, tetap saja, kamu akan maksimal mendapatkan nilai E setelah mengerjakan tugas tambahan yang lumayan menyusahkan.
Beberapa saat setelah menerima kenyataan pahit itu, saya akhirnya memulai mulai mencari excuse penyebab kegagalan saya. Pertama saya menyalahkan sistem penilaian mata kuliah ini yang sangat berbeda dengan mata kuliah lain yang berlandaskan total skor akhir, tidak mensyaratkan point per soal >0. Selanjutnya saya mulai menyalahkan dosen yang tidak jelas kriteria penilaiannya. Sepanjang sejarah dosen ini tidak pernah memberikan jawaban benar atas setiap soal ujian, tidak pernah pula memberikan feedback untuk setiap assignment dengan bentuk sebenarnya feedback. Jadi toh wajar sebenernya saya salah dalam ujian karena saya tidak pernah diajarkan cara menjawab dengan benar sepanjang kuliah. Selanjutnya saya juga menyalahkan hal ini yang membuat saya tidak bisa berkonsentrasi belajar untuk ujian. Dan terakhir saya berasumsi bahwa kalo essay dalam bahasa indonesia tentu saya bisa menjawab dengan lebih luwes dan lebih meyakinkan.
Setelah merenungi kegagalan salah satu target S2 saya, saya mulai merefleksikan diri. Saya kuliah bukan buat nilai, tetapi nilai juga adalah cerminan kemampuan saya. Kenapa bisa ada 2 org dari 30an mahasiswa di kelas bisa dapat nilai B, kenapa saya justru FX. Mungkin karena saya belum belajar maksimal, belum bisa menulis reasoning yang baik, dan belum menguasai semua materi; ada 1 materi yang tak saya kuasai. Sampai akhirnya saya sadar bahwa nilai jelek bukan karena tidak pintar, tetapi karena cara belajarnya saja yang masih salah. Beruntungnya lagi saya mendapatkan pelajaran bahwa tidak boleh meremehkan materi, tidak boleh meremehkan cara belajar. Jika dengan effort yang rendah ini saya bisa mendapatkan nilai yang bagus, saya rasa tingkat kerajinan saya tidak akan pernah meningkat, dan mungkin saya menjadi sombong(?).
Beruntungnya, saya diberikan tugas tambahan untuk bisa mendapatkan nilai E. Dan KTH juga menyediakan re-evaluate exam kalo tidak puas, dan kamipun bisa ikut ujian ulang pada period waktu tertentu dan nilai yang diambil adalah nilai ujian yang lebih tinggi. Mari belajar untuk mendapatkan pengetahuan, seiring itu nilai yang bagus akan mengikuti.
Welcome Re-Exam!
“Kegagalan yang paling total adalah saat kamu menyalahkan orang lain atas kegagalanmu”